ENGLISH EDITION
-->

Rabu, 30 Desember 2020

FPI Dibubarkan, Kabaharkam Polri: Pembiaran dapat Menjadi Embrio Perpecahan NKRI

JAKARTA - Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, menilai keputusan pemerintah melarang seluruh kegiatan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi adalah tindakan tepat dan bukan kriminalisasi.

Menurutnya, sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Oganisasi Kemasyarakatan (Ormas), jelas membatasi bahwa tujuan Ormas didirikan adalah untuk membentuk partisipasi di dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

"Tentunya apa yang harus dilakukan oleh Ormas tidak boleh menimbulkan perpecahan, tidak menyebabkan terjadinya disintegrasi, kemudian tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan kewenangannya tapi merupakan kewenangan aparat penegak hukum," kata Komjen Pol Agus Andrianto dalam keterangan yang disiarkan salah satu televisi swasta nasional, Rabu, 30 Desember 2020.

Mengacu pada sepak terjang FPI yang kerap melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, ujaran kebencian, ajakan melakukan kekerasan, tindakan intoleran, dan lain-lain, Komjen Pol Agus Andrianto menilai pelarangan FPI sebagai organisasi merupakan langkah tepat untuk meredam keresahan masyarakat. Dan dia menegaskan keputusan itu tidak dapat disebut sebagai kriminalisasi.

"Kalau kriminalisasi kan artinya kalau tidak ada perbuatan kemudian orang itu ditetapkan sebagai bermasalah sehingga dia menjadi pelaku kriminal. Itu kriminalisasi. Tapi kalau ada perbuatan yang dilakukan, ada aturan yang dilanggar, ada hukum yang dilanggar, tentunya FPI harus mematuhi aturan-aturan yang menyangkut ke-Ormas-an," tegas Komjen Pol Agus Andrianto.

"Saya rasa jejak digital tidak bisa dihilangkan. Bisa dicari di media sosial yang ada sekarang ini. Tentunya apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang matang dengan melibatkan kementerian dan lembaga," tambahnya mengacu pada sepak terjang FPI.

Komjen Pol Agus Andrianto menjelaskan, keputusan bersama tiga menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT tentang larangan kegiatan FPI itu dapat memberikan payung hukum bagi kepolisian untuk melakukan tindakan hukum berupa pembubaran terhadap kegiatan FPI serta penggunaan simbol dan atribut FPI di seluruh wilayah hukum NKRI.

"Pembiaran dan keraguan penegakan hukum terhadap para pelaku yang seperti ini akan mengakibatkan embrio bagi perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkapnya. (*/IN-001)

Sabtu, 21 November 2020

Wasdal, Sahli Pangdam I/Bukit Barisan Kunjungi Satgas Pamtas Yonif 125/Simbisa

MERAUKE - Satgas Pamtas Yonif 125/Simbisa di bawah Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Korem 174/ATW terima kunjungan Sahli Pangdam I/BB bidang OMP Kolonel INF Polsan Situmorang, SE, MKP, bertempat di Pos Kuler (Pos Koki SSK D) di Distrik Naukenjerai, Kabupaten Merauke.

Dansatgas Yonif 125/Simbisa, Letkol Inf Anjuanda Pardosi dalam rilis tertulisnya di Kabupaten Merauke, Papua, mengatakan bahwa kunjungan Sahli Pangdam I/BB beserta rombongan ke Pos Kuler Satgas Yonif 125/Simbisa dilaksanakan pada Jumat (20/11/2020).

"Kegiatan tersebut sebagai wujud perhatian pimpinan kepada prajurit yang sedang melaksanakan tugas di wilayah perbatasan RI-PNG sekaligus untuk mengadakan pengendalian dan pengawasan tugas operasi," jelasnya.

Dalam kunjungannya, Ketua Tim Wasdal Kolonel Inf Polsan Situmorang, S.E., MKP menyempatkan diri memberikan pengarahan kepada prajurit Satgas Yonif 125/Simbisa.

Mengawali arahannya, Ketua Tim Wasdal Kodam I/BB menuturkan, kunjungannya selain untuk mengetahui kondisi langsung para prajuritnya, juga memberikan apresiasi kepada personel Satgas yang telah melaksanakan tugas dengan baik serta memberikan motivasi agar tetap berbuat yang terbaik dan selalu menjaga citra TNI AD khususnya Kodam I/Bukit Barisan.

Dikatakan juga, kepada seluruh prajurit Satgas untuk selalu menjaga dan meningkatkan kewaspadaan dalam pelaksanaan tugas di medan operasi. "Jangan lengah, terutama waktu menjelang akhir penugasan, karena kelengahan mengakibatkan kekalahan dan kekalahan membawa kepada kehancuran," ujarnya.

"Rangkul masyarakat dengan inovasi dan kreatifitas, sehingga kemanunggalan TNI-Rakyat benar-benar terwujud," tambahnya.

Kunjungan ini, kata Dansatgas diharapkan dapat memberikan motivasi dan menambah semangat Prajurit menjelang akhir penugasannya di wilayah perbatasan. 

"Seluruh personel Satgas senantiasa berupaya untuk berbuat yang terbaik dalam pengabdiannya di wilayah perbatasan, sehingga kehadirannya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat," katanya. (*/IN-001)

Sumber: Papen Satgas Yonif 125, Lettu CHK Juspindeli Girsang

Minggu, 19 Juli 2020

Kisah Safei, Guru SM3T Asal Sumbar Pengabdi Literasi dan Pendidikan di Manokwari, Papua Barat

Safei, S.Pd, Guru SM3T Asal Pariaman di Manokwari, Papua Barat
Pengabdi Pendidikan di Negeri Mutiara Hitam
Gelar sarjana yang disandang akan membuat bangga orang yang meraihnya. Namun, jadi dilema bila pendidikan tinggi ternyata belum mengantarkan seseorang ke jalan kesuksesan. Seperti itu yang pernah dirasakan Safei, alumni UNP Padang yang sekarang mengabdi sebagai guru di Manokwari Papua Barat ini. Sudah lima tahun ia mengabdi di negeri Mutiara Hitam itu. Bagaimana pengalaman Safei?
MANOKWARI - Selesai diwisuda pada 2011, Safei langsung "gamang". Dengan gelar sarjana yang disandang, Safei mengisi waktu luang, sambil menunggu mendapat pekerjaan yang entah kapan didapat, dengan mengolah kebun. Melihat dirinya mondar mandir d kebun setiap hari, membuat hati Safei tersayat. Dalam pikirannya, orang tuanya tentu sangat bersedih. Sebab, setelah selesai kuliah, anaknya belum juga bekerja.

"Saya tahu persis, banyak sarjana di negeri ini, hatinya menangis karena merasa mendapat cemooh setelah selesai wisuda dan nyatanya menganggur. Apalagi di negeri ini nilai kesuksesan itu dipandang dari uang dan materi yang diperoleh. Mindset ini membuat rendahnya penghargaan orang-orang terhadap aksi-aksi sosial non profit, karya seni, dan enteng memandang ide, gagasan, serta suara kaum muda," terang putra kelahiran Pariaman 26 Juli 1986 itu.

Safei pun mengaku, saat selesai wisuda tentu ia tidak ingin dibiayai lagi oleh orang tuanya. Ia melakukan pekerjaan serabutan. Mulai dari membantu dosen di kampus hingga menyambi menjadi wartawan di salah satu koran harian di Padang.

"Saya sering meninggalkan KTP dan HP di kios bensin hingga tidur di mushala POM bensin karena dompet kosong, saya berprinsip tidak ingin menggantungkan hidup kepada orang lain. Kalau ada saya makan, kalau tidak ada saya tahan," kenang Safei bercerita mengenang beratnya masa-masa pasca wisuda.

Saat kukiah di UNP, Safei aktif di UKM jurnalistik. Dalam benaknya, pernah terniat ingin menjadi wartawan olahraga. Apalagi, tulisannya sering dimuat di berbagai surat kabar harian di Padang. Semisal Harian Singgalang, Haluan, Padang Ekspres. Bahkan di Tabloid Bola, dirinya pernah juga ditawarkan menjadi wartawan Bola kontributor Sumbar.

"Sempat saya berfikir menjadi wartawan, khususnya wartawan olahraga. Namun waktu membawa saya jadi guru. Meski, hingga saat ini, saya tetap mencintai dunia wartawan," ujar Safei yang pernah bergabung dengan Surat Kabar Kampus Ganto UNP semasa kuliah.

Perjalanan Safei menjadi guru di Manokwari dimulai saat ia ditawarkan oelh salah seorang dosennya di kampus. Dari penuturan Safei, dosen tersebut sedih melihat hidupnya tidak karuan selesai wisuda, padahal dirinya dinilai aktif saat kuliah.

"Saat di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK UNP), saya pernah menjadi Ketua Hima, BPM, dan menyelenggarakan seminar-seminar nasional serta mendirikan tabloid kampus di fakultas. Saya tamat kuliah cukup lama, yakni 6 tahun, melihat keaktifan semasa kuliah tersebut sehingga saya diusulkan ikut program SM3T. Singkat cerita, ternyata saya lulus dan diberangkatkan ke Aceh Selatan pada Desember 2011. Saya mengikuti semua rangkaian program ini dengan predikat baik dan lolos jadi PNS jalur khusus tahun 2015. Kemudian saya dapat penugasan di Papua Barat," ujar Safei.

Berbekal pengalaman juralistik saat di kampus itu membuat Safei menjadi guru yang cukup aktif di Papua. Keakrabannya dengan dunia tulis menulis, buku, dan literasi membuatnya menjadi salah satu guru yang pernah diundang jadi pembicara dalam lokakarya Hari Guru Sedunia 2018 yang diadakan Lembaga PBB, Unesco, di Jakarta. Langkah tersebut dimulai Safei dengan memaksimalkan potensi yang sudah ia miliki sejak dari kampus.

"Saya diminta membantu komunitas literasi di Manokwari, yakni Noken Pustaka. Ya, karena passion saya di sana saya lakukan sebaik mungkin. Alhamdulillah saya pernah membantu komunitas tersebut sampai meraih penghargaan dari Kemendikbud, yaitu TBM Kreatif-Rekreatif terbaik tahun 2018," terang Safei mengenang pengalaman bersama komunitas yang pernah diundang di Program Mata Najwa Metro TV tersebut.

Safei pun mengakui, bahwa kerjasama dan timlah yang membuat Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tersebut mendapat pengakuan dari banyak pihak. Banyak relawan serta donatur yang membantu untuk menjalankan program gerakan literasi dengan mengantarkan buku ke anak-anak di desa terpencil tersebut. Selain keterampilan menulis yang dimiliki, Safei juga mahir melukis. Saat masih bergabung dengan SKK Ganto UNP, Safei merangkap sebagai kariakturis di sana menggantikan kartunis Adjie (Fefri Rusji) yang sekarang jadi owner Distro Tangkelek.

"Kemampuan menggambar tersebut tidak saya sia-siakan, saya menulis buku anak di Papua. Pernah karya ilustrasi saya juara sayembara buku bacaan anak yang diadakan oleh Badan Bahasa Papua. Hal yang paling berkesan adalah saat saya lolos sebagai peserta Teachers Super Champ yang diadakan KPK di Nusa Dua, Bali tahun 2017. Saya merasakan tidur di hotel berbintang dengan latar belakang alam Pulau Bali. Sepulangnya, saya juga dikasih laptop, karena lolos seleksi karya melukis kartun gerakan anti korupsi," ujar Safei.

Terakhir Safei menjadi kontibutor komik  program Kominfo dengan Pustaka Bergerak Indonesia. Komik tersebut dicetak Kominfo dan dibagikan ke tiga ribu lebih TBM di Indonesia.

Menurut Safei menjadi guru di Papua itu sangat menantang. Di Papua ini sangat berbeda dengan sekolah-sekolah di Jawa dan Sumatera.

"Di Papua kita akan dihadapkan banyak dilema. Situasi keamanan yang tidak menentu, konflik bisa pecah kapan saja, bahkan tiap tahun, saya juga tidak menyangkal hasil riset yang menyebut kualitas pendidikan di wilyah timur tertinggal. Karena itu, keberadaan TBM, komunitas literasi, rumah pintar cukup memberikan kontibusi sebagai pendidikan informal anak di luar sekolah.

Mencintai tanah Papua seperti kampungnya sendiri di Pariaman, Safei bahkan rela "menghibahkan" rumahnya di Manokwari menjadi Taman Bacaan. Di rumah tersebut banyak  buku dan menyelenggarakan pembelajaran informal.

"Saya sudah menjadi guru. Ini sudah dunia saya. Jadi saya terjun sebagai guru di sekolah maupun di tengah masyarakat, saya juga mencari donasi buku, menyalurkannya ke tempat lain, serta membuat taman baca di rumah, programnya bisa bimbingan membaca, belajar membuat komik, syukurlah istri saya, Mellya Sartika, juga alumni PAUD, ia juga mendukung," terang Safei.

Mengenang saat-saat sulit di Manokwari, bagi Safei sebenarnya kondisi masyarakat di Manokwari hampir sama dengan daerah lain. Namun, ia tetap was-was saat terjadi kekacauan.

"Tahun 2019 mungkin tahun yang sulit saya lupakan. Selama saya di sini (Manokwari) baru saat itu kekacauan paling menegangkan. Saat itu, saya hanya mengunci diri di kamar bersama istri dan anak saya, Fatih. Jalanan penuh dengan api dan asap. Orang-orang melempar toko-toko dan rumah warga, ada juga yang diteror dan warungnya dibakar. Pokoknya menakutkan. Puncaknya saat peristiwa Wamena tidak lama setelah itu, rasanya saya mau pulang," kenang Safei.

"Namun, saya kemudian menyadari bahwa ini sudah risiko hidup dan pekerjaan. Saya sudah memutuskan untuk mengabdi di sini. Saya berusaha memberikan yang terbaik semampu saya, bila memang suatu saat saya juga sudah merasa lelah, saya juga ingin balik kanan dan gulung tikar, pulang kampung. Tapi, saat ini saya sangat nyaman disini (Manokwari, Papua Barat)," tutup Safei, pemilik aku Facebook Safei Ricardo Desima itu sambil tertawa lepas. (IN-001)

Cuciricullum vitae:
Nama : Safei
TTL : Pariaman, 26 Juli 1986
Pendidikan : S1 FIK UNP BP 2005
Tamat : 2011
Istri : Mellya Sartika
Anak : Fatih

Kamis, 02 Juli 2020

Dapat Kritikan Keras, Menteri Kesehatan Umumkan Pengunduran Diri

WELLINGTON - Usai mendapat kritikan keras atas kekeliruan penanganan covid-19, Menteri Kesehatan Selandia Baru, David Clark terpaksa mundur diri. Dia dinilai keliru terkait fasilitas karantina.

David Clark sebelumnya juga dikritik oleh warganya lantaran melanggar kebijakan lockdown. Dia membawa keluarganya berlibur ke pantai, padahal negara itu sedang diterapkan lockdown untuk akibat pandemi corona.

“Menjadi sangat jelas bagi saya kini bahwa kelanjutan saya pada jabatan ini mengacaukan respons keseluruhan pemerintah terhadap COVID-19 dan pandemi global,” ujar Clark dalam konferensi pers di Wellington, dikutip Reuters, Kamis (2/7/2020).

Perdana Menteri Jacinda Ardern, yang sebelumnya menolak seruan memberhentikan Clark dengan alasan ia berperan sangat penting dalam respons Selandia baru terhadap pandemi, menyebut dirinya menyetujui keputusan Clark.

Ardern menunjuk Menteri Pendidikan Chris Hipkins sebagai pelaksana jabatan sementara menteri kesehatan hingga pemilihan umum akhir tahun ini.

Selandia Baru saat ini tidak mencatat adanya kasus penularan lokal, namun 22 kasus aktif di wilayah perbatasan muncul melalui warga yang baru kembali ke negara itu. (*/IN-001)

Sumber: fajar.co.id

Kamis, 04 Juni 2020

Menelusuri Poros Kopi Sumatera, Medan

KENAPA MEDAN DIJULUKI POROS KOPI SUMATERA?

Melawat beragam kedai, bertemu petani, melacak kopi-kopi legendaris Sumatera.

Oleh Tonggo Simangunsong
Foto oleh Albert Ivan Damanik
Medan tak punya kebun kopi,” kata Suyanto Husein, “tapi kota ini sudah menjadi poros kopi Sumatera sejak 1800-an.”
Saya menemui Suyanto di Cerita Kopi, sebuah kedai di Medan yang dikelola oleh AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) cabang Sumatera Utara dan berperan layaknya “rumah kedua” bagi para anggota asosiasi senior ini. Suyanto jugalah seorang veteran di jagat perdagangan kopi. Terjun ke bisnis emas hitam sejak 1980-an, dia pernah memimpin perusahaan eksportir kopi Gunung Lintong dan menjabat Ketua AEKI.
Ditemani kopi panas, Suyanto mulai menuturkan sejarah kopi Mandailing, komoditas tersohor asal Sumut. Alkisah, pada abad ke-19, Belanda mulai menanam kopi di dataran tinggi Danau Toba, bagian dari Keresidenan Tapanuli yang beribukota Sibolga. Dari Toba, kebun kopi ini kemudian menyebar ke wilayah Dairi, Sipirok, Lintong Ni Huta, hingga Mandailing Natal. Mengandalkan sistem tanam paksa, Belanda menyulap Sumut menjadi salah satu lumbung kopi Nusantara.

Kiri-Kanan: Agunarta Manik, barista Saabas, memperlihatkan biji-biji Arabika kopi Simalungun di Pamatang Sidamanik; Salimin Djohan Wang, pemilik Kedai Repvblik Kopi.

Kopi Mandailing muncul dari latar itu, namun dengan sejarah yang berkelok janggal. Pada mulanya, namanya berarti “kopi asal Mandailing,” tapi komoditas ini lalu berkembang jadi semacam “merek generik” yang mewakili seluruh kopi asal Tapanuli, terlepas di mana kebun sebenarnya berlokasi.
“Saya masih ingat pada awal-awal 1980-an ketika Henry dari Nomura Jepang ingin mengirim kopi ke Jepang, dia menamainya kopi Mandailing meski kopinya berasal dari Lintong dan Sipirok,” kenang Suyanto. Ironisnya, perkebunan kopi di Mandailing kini sudah jauh meninggalkan masa jayanya.
Usai menyimak kisah kopi Mandailing, saya meluncur ke Kabupaten Simalungun untuk mengenal kopi lain khas Sumut yang berhasil menjala pasar internasional. Usai menaiki bus selama hampir empat jam, saya mendarat di Desa Sinaman II, Kecamatan Pematang Sidamanik. Di sini, saya menemui Ludi Antoni Damanik, petani kopi yang juga Ketua Koperasi Produsen Sumatera Arabica Simalungun.

Kiri-Kanan: Seorang pekerja pengolahan biji di Rumah Produksi Saabas, Pamatang Sidamanik; Aneka kopi hasil racikan Agunarta Manik, barista Saabas.

Toni menyandarkan hidupnya pada kopi Simalungun. Bersama istrinya, dia mengelola perkebunan kopi dan bisnis pemrosesan biji kopi. Saya bertamu ke rumahnya dan mencicipi hasil keringatnya. Di pojok ruang tamu terdapat mesin espresso dan berbagai alat seduh seperti gilingan biji, cerek leher angsa, dan V60 dripper. Beberapa menit berselang, secangkir double espresso terhidang di hadapan saya.
Kata Toni, perkebunan kopi di Simalungun berlangsung sejak zaman kakeknya, sekitar 1907. Pamor kopi ini sempat tenggelam setelah Nederlandsche Handel-Maatschappi membuka perkebunan teh di Sidamanik pada 1917 dan menggeser citra daerah ini sebagai produsen teh. “Sebenarnya, sebelumnya sudah ada kopi. Cuma tak seluas di daerah lain,” katanya.
Warga sekitar awalnya fokus menggarap varietas robusta, tapi seiring meningkatnya harga arabika pada awal 1990-an, mereka pun beralih. Pada 2013, grafik dagang kian membaik setelah para petani membentuk koperasi. Mereka mengedukasi pasar, memperbaiki pola budi daya, serta memperkuat posisi tawar dengan pembeli. “Dari semula hanya bisa [menghasilkan] sekitar satu kilogram per pohon, belakangan sudah bisa tiga hingga lima kilogram per pohon. Hasil panennya juga sudah bagus. Petani hanya memanen biji merah,” jelas Toni.

Proses pengemasan biji Arabika Simalungun, salah satu komoditas ekspor terlaris asal Sumatera.

Momen penting lain bagi bisnis kopi Simalungun datang pada 2015 saat pemerintah memberikan sertifikat Indikasi Geografis Kopi Arabika Simalungun kepada Pemkab Simalungun. Dengan sertifikat ini, kopi Simalungun menjadi terminologi dagang yang diproteksi autentisitasnya, bukan lagi merek generik yang boleh dicatut oleh daerah lain.
Toni mengajak saya berkeliling ke kebun kopi, lalu mengunjungi sebuah dapur produksi di belakang rumah yang menyimpan peralatan seperti mesin huller dan sangrai. “Ini honey process, tak banyak,” ujarnya seraya menunjukkan biji kopi dalam keranjang.
Selain pasar domestik, Toni dan para petani koleganya telah berhasil menjala pembeli dari luar negeri, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Timur Tengah. “Bahkan kopi Simalungun sudah dibeli Starbucks,” tambahnya bangga. “Sekarang tinggal bagaimana petani bisa konsisten menjaga kualitas.”
Kisah kopi Mandailing dan Simalungun hanyalah dua keping kecil dari mosaik besar kopi Sumut. Menengok zaman kolonialisme Belanda di Sumatera Timur, kopi Sidikalang adalah keping lain yang punya ceritanya sendiri. Saya menggali kisahnya di Kedai Apek di daerah Kesawan, titik nol kota Medan.
Kedai Apek merupakan salah satu garda penjaga tradisi first wave coffee movement di Medan. Kedai kopitiam ini dirintis pada 1922 oleh orang tua Apek, Thia A Kee dan Khi Lang Kiao. Setelah hampir seabad beroperasi, tempat ini setia menyajikan bubuk robusta Sidikalang yang dipadu dengan roti bakar srikaya dan telur ayam kampung setengah matang.

Kiri-Kanan: Petani memetik buah Arabika ranum di Desa Sinaman II, Simalungun; Fasad Kedai Apek, salah satu garda penjaga tradisi first wave coffee movement di Medan.

Kedai Apek menempati bangunan renta yang masih terlihat kokoh, meski sudah direnovasi di beberapa sudutnya, seperti terlihat pada zona seduh yang dialasi marmer. Di luar itu, tamu bisa menikmati duduk santai di antara perabot tua dan menyaksikan jam dinding kuno yang masih berputar.
Khas kopitiam, Kedai Apek menyajikan kopi yang dicampur gula atau susu kental manis (atau tepatnya “cairan kental manis tanpa susu”). Seperti terlihat di Kedai Apek, penggemar kopi jenis ini didominasi kalangan sepuh. Bila pun ada anak muda, umumnya turis yang ingin bernostalgia dengan masa lalu Medan sebagai kota yang dijuluki Parijs van Sumatra.

Kiri-Kanan: Putri Lestari, barista Cerita Kopi, kedai yang dikelola oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia; Pekerja menimbang karung-karung berisi kopi siap ekspor di sebuah gudang di Medan.

Dari Kedai Apek, saya bergeser ke Repvblik Kopi, sebuah kedai yang mengadopsi karakter kopitiamdalam hal arsitektur, tapi menyediakan specialty coffee. Kedai ini menempati bangunan renta yang sudah dirombak, sekitar 25 meter dari situs bersejarah Gedung Juang 45. Interiornya masih memelihara ornamen berlanggam art nouveau, warisan khas Belanda semasa berkuasa di Sumatera Timur. “Memang mempertahankan gaya Belanda, tapi Belandanya sudah pergi,” ujar sang pemilik, Salimin Djohan Wang, dengan nada bercanda. “Hanya bagian dapurnya saja yang sedikit berbeda.”
Buku menu Repvblik Kopi hanya mencantumkan kopi dan segelintir camilan, contohnya roti srikaya dan pisang goreng. Baristanya menyeduh bubuk dengan peralatan dan teknik modern, termasuk syphonFrench press, dan Vietnam drip. Sedikit banyak Djohan mengagumi pendekatan bisnis Starbucks yang menjaga fokus bisnisnya sebagai kedai, bukan restoran. “Kedai kopi memang tempatnya orang minum kopi,” katanya. “Saya kagum dengan Starbucks yang berpegang pada prinsip itu.”

Suasana malam di Gerobak Kopi City Plus, lapak kopi populer di Jalan Setia Budi, Medan.

Sebagai poros kopi Sumatera, Medan juga menyerap kopi dari daerah lain, termasuk kopi Gayo asal Aceh. Salah satu alasannya ialah keberadaan Pelabuhan Belawan yang berperan sebagai gerbang ekspor kopi Sumatera. Menurut Ketua AEKI Sumut Saidul Alam, realisasi ekspor kopi melalui Pelabuhan Belawan hingga Maret 2019 mencapai 4.798.196 ton, mayoritas berjenis arabika. “Kopi Gayo merupakan yang salah satu yang terbesar volume ekspornya di antara kopi dari Sumut,” tambah Saidul.
Untuk mencicipi kopi Gayo, saya bertamu ke Sada Coffee milik Muhammad Mursada. Ketika saya datang, Mursada sedang asyik menyangrai kopi. Walau wajahnya letih, dia selalu semangat bila diajak bicara soal kopi.
Sada Coffee menempati sebuah rumah di Jalan Sei Bahorok, pindah dari lokasi sebelumnya di Jalan Teladan. “Di sini jelas lebih ramai,” kata Mursada. Maklum, Jalan Sei Bahorok berada di seputaran kawasan inti kota yang lazim dinamai “Medan Baru.” Tak jauh dari sini telah hadir kedai waralaba Anomali Coffee.

Kiri-Kanan: Muhammad Mursada, pemilik Sada Coffee, kedai yang mengandalkan kopi Gayo; Kopi dan camilan di meja Kedai Apek, tempat kongko legendaris yang dirintis pada 1922.

Sada Coffee menyeduh kopi Gayo yang dipanen dari kebun kopi milik keluarga di Tawar Miko, Kabupaten Aceh Tengah. Di sana, keluarganya menanam kopi dengan metode pertanian organik secara turun-temurun. Kualitasnya telah menyabet pengakuan nasional. Pada 2014, saat mengikuti lelang kopi garapan Specialty Coffee Association of Indonesia, Sada Coffee mendapat predikat kopi dengan harga lelang tertinggi untuk pengolahan semi-washed.
Untuk menilai rasa dan kualitas biji, Sada Coffee menyerahkannya kepada Mahdi Usati, Q-Grader dari Gayo Cuppers Team. “Saya bisa saja cupping kopi sendiri, tapi saya lebih suka orang yang menilainya, apalagi yang mengujinya adalah seorang cupper,” ucap Mursada.
Saya memesan sarabic atau sanger arabica. Di kedai-kedai kopi Aceh di Medan, istilah sanger sangatlah awam. Kopi ini biasanya terdiri dari bubuk robusta yang dicampur dengan susu kental manis dan disajikan dalam gelas kecil. Bedanya dengan Sada Coffee, biji yang dipakai jenis arabika.
Malam kian larut, tamu makin banyak, cangkir-cangkir sarabic meluncur ke banyak meja. Interior kedai kini dipenuhi obrolan yang tak berkesudahan. Rasa Aceh kian kental terasa. Sepenggal rasa Aceh di poros kopi Sumatera.
Panduan Tur KopiUntuk tur kebun kopi, pilih penerbangan ke Bandara Sisingamangaraja XII, lalu teruskan perjalanan via jalur darat ke Simalungun, Sidikalang, atau Humbang Hasundutan. Untuk wisata kedai di Medan, Anda mesti terbang ke Bandara Kualanamu.
Di kawasan Titik Nol, Kedai Apek (Jl. Hindu 37) menganut model kopitiam sejak 1922. Masih di kawasan bersejarah, Repvblik Kopi (Jl. Pemuda 19) menempati bangunan tua dan menyuguhkan kopi yang diracik dengan teknik modern. Bila ingin bertemu para anggota Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, singgahlah di Cerita Kopi (Jl. Kirana Raya 38). Sementara jika ingin mencicipi kopi Gayo, kunjungi Sada Coffee (Jl. Sei Bahorok 19; sadakoffie.com) yang mengandalkan biji-biji dari kebun keluarga di Aceh Tengah. (*/IN-001)
Sumber: destinasian.co.id

Kamis, 30 April 2020

Bantuan Covid-19 Sudah Bisa Dicairkan, Baru Tiga Daerah yang Sudah Melengkapi Data

PADANG - Gubernur Sumbar Irwan Prayitno telah menandatangani Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 tahun 2020 tentang Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bagi Masyarakat Yang Terdampak Akibat Pandemi Corona Virus Disease-2019 (Covid-19) di Sumbar.

Artinya, seperti disampaikan Kepala Biro Humas Setda Prov Sumbar, selaku Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumbar, Jasman Rizal, mulai Kamis (30/4) telah dapat dicairkan dana JPS kepada masyarakat yang terdampak Covid-19 di kabupaten/kota se-Sumbar.

Besaran dana JPS dari Pemprov Sumbar ini, sebut Jasman, adalah sebesar Rp600.000/Kepala Keluarga (KK) per bulan. Dana JPS akan diberikan selama 3 bulan, yaitu April, Mei dan Juni 2020 dengan total adalah sebesar Rp1.800.000/KK.

Ketentuan siapa masyarakat yang berhak menerima bantuan JPS dari Pemprov Sumbar dimaksud, diatur pada BAB II pasal 2 pada Peraturan Gubernur Nomor 24 tahun 2020 tersebut.

Daerah yang telah menyerahkan data masyarakatnya yang berhak menerima dana JPS dan dinyatakan lengkap pada hari ini Kamis 30 April 2020 ke provinsi Sumbar, adalah Kota Padang Panjang, Kota Sawahlunto dan Kabupaten Agam. Masyarakat ketiga daerah ini telah dapat diberikan kucuran dana JPS dari Pemprov Sumbar.

"Kita sangat berharap, kiranya kabupaten dan kota lainnya juga sesegera mungkin menyusul menyerahkan datanya sesuai aturan dan dapat segera mencairkan dananya utk masyarakat terdampak di daerahnya masing- masing," tukuk Jasman.

Sebagai informasi, dana JPS dari Pemprov Sumbar ini langsung diberikan kepada masyarakat untuk jatah 2 (dua) bulan, yaitu bulan April dan Mei 2020. Artinya masyarakat terdampak langsung dapat Rp600.000 x 2 bulan, sebesar Rp1.200.000/KK

Dana JPS dari Pemprov Sumbar ini, lanjut Jasman, nantinya juga akan langsung diserahkan oleh pegawai kantor pos ke rumah masing-masing masyarakat terdampak Covid-19 dan rumahnya akan ditempeli stiker penerima JPS.

"Hal ini bertujuan agar ada transparansi dan agar jangan sampai terjadi pemberian ganda kepada masyarakat," tutup Jasman. (*/IN-001)
© Copyright 2018 INFONEWS.CO.ID | All Right Reserved