Ramadan
-->

Sabtu, 20 Maret 2021

Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Padang dan Bukittinggi

PADANG - Tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) Mabes Polri menangkap beberapa terduga teroris di Kota Padang dan Bukittinggi, Jumat siang (19/3/2021). Di Kota Padang ada dua titik tempat penangkapan dilakukan, yakni di kawasan Kuranji dan Gunung Pangilun. 

"Tadi memang saya lihat polisi ramai-ramai di sana, ada yang berseragam khusus, ada yang berseragam polisi umum dan ada juga yang berpakaian preman, namun saya hanya sekadar melihat sebentar saja, karena tertutup," ucap Yudha, salah satu warga yang melihat penangkapan di kawasan Gunung Pangilun, Kecamatan Nanggalo Padang.

Sementara warga lain juga membenarkan kejadian penangkapan tersebut namun mereka tidak diizinkan mendekat dengan lokasi. 

"Ya ada penangkapan di salah satu rumah belakang Sentral Jepara, Gunung Pangilun di geledah polisi. Tapi warga tak tahu terkait apa. Tepat di samping MAN 2 Padang, di Jalan Rawa Sanur," ucap warga yang enggan menyebutkan namanya.

Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Satake Bayu Setianto membenarkan ada penangkapan terduga teroris, namun dia menyarankan untuk konfirmasi di Mabes Polri. "Memang benar ada penangkapan terduga teroris tapi itu kewenangan dari Mabes Polri," katanya. (*/IN-001)

Sumber: okezone.com

 

Senin, 15 Maret 2021

Anton Medan Wafat, Ini Kisah Hidup Sang Penjahat Insaf

PENDAKWAH bernama Ramdhan Effendi atau yang dikenal dengan nama Anton Medan meninggal dunia pada Senin (15/3/2021). Anton Medan dikabarkan tutup usia di kediamannya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada Senin sore.

Meninggalnya pemuka agama keturunan Tionghoa ini telah dikonfirmasi oleh Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa (PITI), Ipong Hembiring Putra, Senin (15/3/2021). Menurut Ipong, Anton meninggal setelah berjuang melawan sakit yang diidapnya.

"Iya benar, karena stroke dan diabetes,” ujar Ipong saat dihubungi Kompas.com.

Hingga berita ini diturunkan, belum diketahui mengenai prosesi pemakaman.

Sosok Anton Medan

Disalin dari Wikipedia.org, sosok Anton Medan lahir dengan nama Tan Hok Liang, lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 10 Oktober 1957. Dia adalah mantan perampok dan bandar judi yang kini telah insaf.

Anton Medan pernah menjadi sosok sangat ditakuti di era Orde Baru. Saat insaf, dia memilih jadi mualaf.

Setelah masuk Islam, Anton Medan bernama Muhammad Ramdhan Effendi. Sahabat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu pernah menjadi Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sejak 2012.

Anton Medan memeluk agama Islam sejak 1992. Ia mendirikan rumah ibadah yang diberi nama Masjid Jami’ Tan Hok Liang. Masjid itu terletak di areal Pondok Pesantren At-Ta’ibin, Pondok Rajeg, Cibinong. Banyak tuduhan-tuduhan yang diarahkan padanya seputar keterlibatannya dalam kerusuhan Mei 1998.

Dia juga pernah masuk penjara sewaktu masih menjadi perampok dan bandar judi. Anton Medan mengaku dirinya semula merupakan penganut agama Buddha, lalu beralih ke Kristen dan akhirnya Islam.

Sebelum masuk Islam, Anton Medan dibesarkan di tengah-tengah politik gelap Indonesia. Selama pemerintahan Orde Baru Suharto ketika preman digunakan dalam politik, bisnis dan instansi pemerintah.

Dalam penyidikan kasus kerusuhan 1998, Anton Medan membantah tuduhan terlibat aktif di balik layar, meski mengaku berada di tengah-tengah massa. Namun, dia menolak untuk bersaksi kecuali Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merehabilitasi namanya terlebih dahulu.

Sudah Siapkan Liang Lahat

Sebelumnya, sebagaimana diberitakan Tribunnews.com, Anton Medan ternyata sudah menyiapkan liang lahat untuk dirinya jika kelak meninggal.

Liang lahat yang disiapkan Anton berada di Pondok Pesantren At-Taibin di Kampung Bulak Rata RT 2/8, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Ponpes itu akan menjadi tempat peristirahatan terakhir pria yang kini menginjak usia 65 tahun.

Pria pemilik nama Tionghoa, Tan Kok Liong, sejak dulu bercita-cita membangun sebuah pondok pesantren bagi mualaf Tionghoa dan mantan narapidana yang ingin belajar agama.

Pada 2002 cita-citanya terwujud membangun sebuah pondok pesantren. Saat itu yang pertama kali dibangun oleh Anton yakni kuburan.

"Yang dibangun pertama Bapak (Anton Medan) kuburannya dulu, terus dilanjutin ngebangun pondok pesantren," kata Deni Chunk (41), pengurus Pondok Pesantren At-Taibin kepada TribunnewsBogor.com pada Juni 2017.

Lokasi yang nantinya menjadi tempat pemakanam Anton berada tepat di sebalah kanan Masjid Tan Kok Liong yang di desain dengan gaya bangunan Tionghoa.

Kuburan itu memiliki kedalaman sekitar 160 sentimeter dan panjang 2 meter yang saat ini dijadikan pendopo bagi tamu yang berkunjung ke pondok pesantren tersebut.

"Tadinya enggak ditutup meja, tapi takutnya bahaya akhirnya ditutup jadi lebih terlihat rapih,” sambung Deni.

Selain pondok pesantren di lokasi tersebut yayasan mendirikan sekolah dengan sistem asrama. Dahulu yang tinggal di asrama sampai 500 orang.

Berdirinya Pondok Pesantren At-Taibin bermula ketika Anton Medan ingin menysiarkan Islam dengan membangun pesantren pada 2002 lalu.

"Cita-cita bapak ingin bangun pesantren untuk mualaf Tionghoa, makannya didirikan pondok pesantren ini. Pembangunan sekitar dua tahun, baru mulai beroperasi pada 2004," kata Deni.

Sekolah yang di dalamnya juga terdapat pondok pesantren bagi mantan narapidana dan mualaf Tionghoa ini berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektare.

Saat ini yayasan sudah tidak aktif lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang masih tersisa hanya pondok pesantren bagi eks narapidana serta mualaf Tionghoa yang ingin belajar ilmu agama.

Setiap bulan ada saja eks narapidana yang datang untuk mondok di sini. Menjelang Ramadan para santri sudah banyak pulang ke kampung halaman masing-masing untuk ibadah puasa bersama keluarga.

"Emang enggak banyak, kalau bulan puasanya biasanya pada pulang," tukas dia.

Menurut Deni, santri mantan narapidana itu selain dibekali ilmu agama juga diajarkan berwirausaha selama berada di pondokan. Seperti belajar mengelas, beternak hingga menjahit agar setelah mereka keluar sudah punya bekal keahlian untuk melanjutkan hidupnya dan tidak kembali terjerumus dalam dunia hitam.

"Mereka diajarin baca Alquran dan salat. Ada juga alumni yang sekarang sudah bisa membuka pondok pesantren sendiri di kampungnya," kata lelaki yang juga guru di ponpes tersebut.

Ada yang mencolok dari arsitektur bangunan di pondok pesantren Anton. Hampir semua artsitekturnya mendapat sentuhan khas Tiongkok.

Gaya khas bangunan Masjid Hok Tek Liong ini sengaja mengambil gaya bangunan Tiongkok sebagai ciri khas Anton yang memang keturunan Tionghoa. (*/IN-001)

Sumber: Tribunnews

Rabu, 30 Desember 2020

FPI Dibubarkan, Kabaharkam Polri: Pembiaran dapat Menjadi Embrio Perpecahan NKRI

JAKARTA - Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, menilai keputusan pemerintah melarang seluruh kegiatan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi adalah tindakan tepat dan bukan kriminalisasi.

Menurutnya, sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Oganisasi Kemasyarakatan (Ormas), jelas membatasi bahwa tujuan Ormas didirikan adalah untuk membentuk partisipasi di dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

"Tentunya apa yang harus dilakukan oleh Ormas tidak boleh menimbulkan perpecahan, tidak menyebabkan terjadinya disintegrasi, kemudian tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan kewenangannya tapi merupakan kewenangan aparat penegak hukum," kata Komjen Pol Agus Andrianto dalam keterangan yang disiarkan salah satu televisi swasta nasional, Rabu, 30 Desember 2020.

Mengacu pada sepak terjang FPI yang kerap melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, ujaran kebencian, ajakan melakukan kekerasan, tindakan intoleran, dan lain-lain, Komjen Pol Agus Andrianto menilai pelarangan FPI sebagai organisasi merupakan langkah tepat untuk meredam keresahan masyarakat. Dan dia menegaskan keputusan itu tidak dapat disebut sebagai kriminalisasi.

"Kalau kriminalisasi kan artinya kalau tidak ada perbuatan kemudian orang itu ditetapkan sebagai bermasalah sehingga dia menjadi pelaku kriminal. Itu kriminalisasi. Tapi kalau ada perbuatan yang dilakukan, ada aturan yang dilanggar, ada hukum yang dilanggar, tentunya FPI harus mematuhi aturan-aturan yang menyangkut ke-Ormas-an," tegas Komjen Pol Agus Andrianto.

"Saya rasa jejak digital tidak bisa dihilangkan. Bisa dicari di media sosial yang ada sekarang ini. Tentunya apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang matang dengan melibatkan kementerian dan lembaga," tambahnya mengacu pada sepak terjang FPI.

Komjen Pol Agus Andrianto menjelaskan, keputusan bersama tiga menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT tentang larangan kegiatan FPI itu dapat memberikan payung hukum bagi kepolisian untuk melakukan tindakan hukum berupa pembubaran terhadap kegiatan FPI serta penggunaan simbol dan atribut FPI di seluruh wilayah hukum NKRI.

"Pembiaran dan keraguan penegakan hukum terhadap para pelaku yang seperti ini akan mengakibatkan embrio bagi perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkapnya. (*/IN-001)

Selasa, 06 Oktober 2020

Kisah Setelah G30S: Pembantaian "Sejuta Orang" yang Tak Pernah Diajarkan di Sekolah

JAKARTA - Peristiwa G30S/PKI menewaskan enam jenderal, tiga perwira, satu polisi, dan satu putri jenderal. Aksi balasan atas peristiwa itu mengakibatkan puluhan ribu hingga sejuta orang tewas dalam pembantaian massal.

Peristiwa setelah G30S/PKI itu biasa disebut sebagai peristiwa 1965, peristiwa pasca-'65, tragedi 1965, atau pembantaian massal 1965-1966. Semuanya merujuk pada momen pembunuhan besar-besaran terhadap kader PKI, simpatisan PKI, atau orang yang dituduh PKI.

"Peristiwa G30S 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pembunuhan itu tak pernah diungkapkan dalam pendidikan sejarah, baik proses maupun jumlah korbannya," tulis sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, dalam Archipel di situs Open Edition Journals, diakses detikcom, Minggu (4/10/2020).

Mundur satu dasawarsa sebelum 30 September 1965, PKI adalah partai nomor empat dalam Pemilu. Pemilihnya berjumlah enam juta orang lebih. Seperti partai-partai pada umumnya, PKI juga punya organisasi sayap pula, merentang dari organisasi kegiatan kemahasiswaan, petani, buruh, perempuan, sampai seni-budaya.

Pada 1965, PKI adalah partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis di Uni Soviet dan Partai Komunis China. Tentu saja anggotanya banyak.

Percobaan kudeta yang memuncak pada pembunuhan para jenderal di 30 September 1965 didalangi bukan oleh jutaan orang, melainkan oleh beberapa elite. Namun gara-gara intrik politik tingkat atas tersebut, banyak orang harus terbunuh dalam aksi balasan.

Robert Cribb dalam 'The Indonesian Killings, 1965-1966: Studies from Jawa and Bali ' menjelaskan bahwa pembunuhan dimulai beberapa pekan setelah kudeta gagal itu. Peristiwa pembunuhan massal menyapu seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Ada pula pembunuhan di pulau-pulau lain terkait suasana politik saat itu, skalanya cenderung lebih kecil dari Jawa dan Bali.

"Pembantaian berhenti pada Maret 1966, namun kadang muncul lagi secara tiba-tiba hingga 1969," tulis Robert Cribb.

Korban pembantaian massal banyak yang dibunuh langsung, tanpa diadili dulu, tanpa langkah verifikasi dan cek fakta apakah benar yang ditangkap itu adalah anggota PKI atau bukan. Tentu butuh energi dan pikiran yang luar biasa besar untuk membunuh banyak orang. Siapa yang mengeksekusi pembunuhan massal itu? Robert Cribb menjelaskan, saat itu tentara dan masyarakat bersatu membasmi 'orang-orang PKI'.

"Kebanyakan, pihak yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu adalah tentara dan kelompok vigilante. Di beberapa kasus, tentara turun langsung dalam pembuhuhan. Kadang, mereka memasok senjata dan pelatihan dasar dan dukungan kepada kelompok sipil yang melakukan banyak pembunuhan," tulis Cribb.

Victor M Fic dalam buku 'Kudeta 1 Oktober 1965', menyebut peristiwa pasca G30S itu sebagai 'pembantaian besar-besaran tiada tara', dilakukan sangat cepat dan tanpa ragu-ragu.

Berdasarkan mandat yang diperoleh Presiden Sukarno, Mayor Jenderal Soeharto bergerak membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Dia menjadi Panglima Kopkamtib. Kopkamtib meluncurkan, mendukung, dan mendorong kampanye anti-komunis. PKI dilarang dan secara fisik dihancurkan.

"Operasi-operasi militer disertai oleh balas dendam pribadi dan kelompok, dengan akibat banyak orang yang tidak berdosa lenyap, terutama dari kalangan masyarakat Tionghoa," tulis Victor M Fic.

Jumlah Korban

Ada banyak versi soal angka pasti jumlah korban pembantaian massal 1965. Ada yang menyebut belasan ribu orang, puluhan ribu orang, hingga jutaan orang.

Dikutip dari tulisan Robert Cribb dan Victor M Fic secara terpisah, jumlah resmi dari korban yang terbunuh adalah 78.500 orang. Angka ini disampaikan oleh Komisi Pencari Fakta di bawah Mayor Jenderal Sumarno. Komisi Pencari Fakta itu sendiri dibentuk pada akhir Desember 1965 oleh Presiden Sukarno, saat pembantaian masih berlangsung.

Rincian 78.000 orang korban tewas pada saat itu berasal dari 54.000 orang di Jawa Timur, 12.500 orang di Bali, 10.000 orang di Jawa Tengah, dan 2.000 orang di Sumatera Utara. Jumlah korban ini dilaporkan dalam koran ABRI, Angkatan Bersendjata, pada 10-11 Februari 1966.

Jumlah 78.500 orang korban pembantaian dianggap terlalu rendah bahkan oleh Komisi Pencari Fakta itu sendiri. Angka itu memang dihitung sebelum pembunuhan massal berakhir.

Survei Kopkamtib menggunakan bantuan 150 orang sarjana pada 1966 mengemukakan angka 1 juta orang tewas. Pembagiannya, 800 ribu di antaranya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta 100 ribu di Bali dan Sumatera. Namun angka 1 juta orang tewas ini juga dianggap terlalu banyak.

"Biasanya, laporan itu didapat dari kepala desa yang bangga dan melebih-lebihkan jumlah orang yang berhasil dibantainya," tulis Cribb.

Pada Juli 1976, Komandan Kopkamtib saat itu yakni Sudomo menyampaikan angka setengah juta orang tewas. Bukti yang mendasari angka tersebut tidak jelas.

Martin Eickhoff dkk dalam '1965 Today: Living with the Indonesian Massacres' menyebut jumlah setengah juta orang tewas antara 1965 sampai 1968. Jutaan penyintas dan keluarganya kehlangan hak sebagai warga negara. Itu adalah pembalasan yang keras terhadap kaum kiri.

Robert Cribb sendiri skeptis dengan angka-angka itu. Bila benar ada banyak orang tewas pada periode 1965-1966, maka seharusnya bakal terjadi pengurangan populasi secara besar. Namun Cribb mengutip Ann Laura Stoler perihal perubahan suasana di perkebunan kawasan Sumatera.

Di perkebunan, ada 283 ribu buruh sebelum G30S/PKI. Setahun setelah G30S/PKI, jumlahnya menyusut 16% alias berkurang 47 ribu orang. Jumlah ini belum mencakup orang yang melarikan diri atau hilang. (*/IN-001)

Sumber: detik.com

Selasa, 23 Juni 2020

Arab Saudi Putuskan Ibadah Haji Tahun Ini Tetap Berlangsung

RIYADH - Pemerintah Arab Saudi akhirnya memberi kepastian soal nasib ibadah Haji tahun ini. Seperti dikutip dari Saudi Press Agency, Senin (22/6/2020), Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menyatakan musim Haji 1441 H diputuskan akan tetap berlangsung dengan jumlah jemaah yang terbatas.

Menurut kementerian itu, setiap orang yang saat ini tinggal di Arab Saudi, dari negara manapun mereka berasal, boleh menunaikan ibadah haji tahun ini.

"(Jamaah) dari semua kebangsaan yang tinggal di Arab Saudi saja, yang bersedia melakukan ibadah haji,” sebut pernyataan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.

"Keputusan ini diambil untuk memastikan bahwa ibadah haji dilakukan dengan aman sambil melakukan semua langkah pencegahan untuk melindungi umat Islam dan mematuhi dengan ketat ajaran Islam dalam menjaga kesehatan dan keselamatan kita," lanjut pernyataan itu.

Masih menurut kementerian itu, Covid-19 telah menyebar ke lebih dari 180 negara di seluruh dunia. Kematian terkait Covid-19 telah mencapai hampir setengah juta jiwa dan lebih dari 7 juta kasus yang dikonfirmasi secara global.

"Menurut rekomendasi dari Kementerian Kesehatan Saudi, risiko dari virus corona diperkirakan akan terus meningkat, tetapi belum ada vaksin yang tersedia untuk mereka yang terinfeksi oleh penyakit ini. Keamanan kesehatan global perlu dijaga, terutama dengan peningkatan jumlah kasus di seluruh dunia, berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga dan organisasi kesehatan internasional. Sangat diperlukan untuk menjaga jarak yang tepat di daerah ramai untuk menghindari bahaya penyebaran Covid-19," tambah Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi juga menyatakan, Kerajaan Arab Saudi memiliki prioritas utama untuk selalu memberikan perhatian agar memungkinkan umat Islam melakukan ibadah haji atau umrah dengan aman dan telah mengambil langkah-langkah pencegahan untuk melindungi para peziarah sejak awal merebaknya Covid-19.

"Arab Saudi dengan cepat menangguhkan masuknya jemaah haji, sambil menjaga kondisi Jemaah yang sudah ada di Arab Saudi. Keputusan itu mendapat beberapa persetujuan dari organisasi Islam dan internasional. Langkah ini secara efektif berkontribusi untuk memerangi virus secara global dan mendukung upaya organisasi kesehatan dalam membatasi penyebaran penyakit mematikan," sambung pernyataan tersebut. (*/IN-001)

Kamis, 11 Juni 2020

MOM'S DL 89 Dukung Baksos Akabri Kepolisian 1989

JAKARTA - Angggota Bhayangkari yang tergabung dalam persatuan istri Akademi Kepolisian (Akpol) Tahun 1989, yang dikenal dengan "MOM'S DL 89" mendukung aksi pemberian paket bantuan kemanusiaan ramah perempuan dan anak, oleh Alumni Akpol 1989. Sejumlah MOM'S DL 89 yang hadir di antaranya Ketua MOM'S Ny. Evi Agus Andrianto, Ny. Dian Dofiri, Ny. Enny Risyapudin, Ny. Setri Yehu, Ny. Lola Robert, Ny. Deasy Mashudi, Ny. Ida Guruh, Ny. Dewi Zainal, Ny. Ade Harjo, dan Ny. Yoni Heri Maryadi.

Pada kesempatan itu, Alumni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI, sekarang dipisah menjadi Akmil dan Akpol) angkatan tahun 1989 menggelar bakti sosial Pengabdian TNI-Polri AKABRI 89 dengan tema "Hidup Produktif & Aman COVID-19". Kegiatan ini dilaksanakan dengan pendistribusian 22.550 paket Sembako, yang merupakan hasil sumbangan alumni AKABRI 89 dari seluruh Indonesia, untuk masyarakat terdampak COVID-19. Paket Sembako ini akan disalurkan ke 18 wilayah di Jakarta (Pusat, Barat, Selatan, Utara, dan Timur), Bekasi (Kota dan Kabupaten), Depok, Tangerang (Kota, Selatan, dan Kabupaten), Bogor (Kota dan Kabupaten), Kepulauan Seribu, Cianjur, Subang, Purwakarta, dan Serang.

Adapun sasaran pendistribusian adalah masyarakat yang terkena PHK akibat pandemi COVID-19, marbot masjid, panti jompo, panti asuhan, pesantren, yatim piatu, ojek online dan pangkalan, kaum sisabilitas, Manusia Gerobak, masyarakat yang tidak bisa mudik, purnawirawan/warakawuri TNI-Polri, dan tenaga medis.

"Kami menjalankan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan pengurangan kesenjangan. Semoga pendistribusian sembako alumni AKABRI angkatan 89 dapat bermanfaat bagi masyarakat," kata Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenkopolhukam RI, Mayjen TNI Rudianto, selaku Ketua Alumni AKABRI 89 atau yang biasa disebut juga Altar 89.

Pernyataan tersebut disampaikan Mayjen TNI Rudianto usai memimpin pelaksanaan Apel Baksos Alumni AKABRI 89 di Lapangan Baharkam Polri, Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 11 Juni 2010, sebagai tanda awal dimulainya pendistribusian paket Sembako.

Hadir dalam apel tersebut alumni AKABRI 89 dari empat matra, yakni TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut, dan Polri, di antaranya Mayjen TNI Eko Margiono (Pangdam Jaya), Mayjen TNI Heri Wiranto (Aspers Kasad), Mayjen TNI Suharyanto (Sesmil Pres), Laksamana Muda TNI TSNB Hutabarat (Deputi Bidang Opslat Bakamla RI), Marsekal Muda TNI Andyawan Martono Putra (Asrena Kasau), Komjen Pol Agus Andrianto (Kabaharkam Polri), dan Irjen Pol risyapudin Nursin (Kakorbinmas Baharkam Polri). (IN-001)


© Copyright 2018 INFONEWS.CO.ID | All Right Reserved