Wudhu sebagai sarana untuk mensucikan diri dari hadats kecil bisa menjadi batal bila terjadi beberapa hal yang dapat membatalkannya. Orang yang batal wudhunya tentunya ia tidak diperbolehkan melakukan shalat dan amalan ibadah lain yang menuntut kesucian dari hadats kecil bila akan melakukannya.
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi menjelaskan dalam Fathul Qarib bahwa hal-hal yang membatalkan wudhu atau penyebab hadas kecil ada lima. Dengan terjadinya salah satu yang lima ini maka wudhu seseorang menjadi batal dan dia tidak bisa melakukan ibadah yang mewajibkan suci dari hadas kecil kecuali setelah berwudhu lagi, seperti melaksanakan shalat, memegang Alquran, dan lain sebagainya. Kelima hal yang membatalkan wudhu itu sebagaimana berikut:
Pertama, apabila keluar sesuatu dari salah satu kemaluan orang yang memiliki wudhu. Baik yang keluar itu adalah sesuatu yang biasa keluar seperti kencing dan tai, atau jarang keluar seperti darah dan kerikil. Baik yang najis seperti contoh-contoh tadi, atau yang keluar itu barang yang suci seperti ulat atau kremi.
Ketetapan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam sebiah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا يقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ) قال رجل من حضرموت، “ما الحدث يا أبا هريرة؟,” قال “الفساء والضراط”.
Dari Abi Hurairah RA, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tidaklah diterima shalat salah seorang di antara kalian jika dia berhadas sampai wudhu kembali.” Lalu seorang lelaki Hadhramaut bertanya, “Apa itu berhadas?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut yang bersuara atau tidak bersuara.”
Kedua, batal wudhu sebab tidur. Kecuali tidur orang mutamakkin maq’adahu yaitu tidur dalam keadaan duduk rapat bagian punggung dan pantatnya dengan tempat ia duduk, karena dalam posisi tersebut tidak dikhawatirkan keluar kentut sewaktu tidur.
Mushthafa Dib al-Bugha dalam At-Tahdzib Fi Adillati Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib menjelaskan mutqin atau mutamakkin maq’adahu adalah orang yang tidur dalam keadaan duduk sekiranya tidak terjatuh walaupun ia tidak duduk bersandar.
Ketentuan Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut:
عن على رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، “وكاء الساه العينان، فمن نام فليتوضأ.”
Dari Sahabat Ali RA., berkata, “Dua mata adalah penahan pintu dubur (kemaluan) maka barang siapa tidur berwudhulah.”
Al-Bugha menjelaskan mata dikatakan sebagai penahan pintu dubur karena pada saat dalam keadan sadar seseorang masih bisa menahan dan merasakan apa yang ingin keluar dari kemaluannya. Sedangkan jika tertidur terlepaslah penahan itu. Karena itu jika seseorang bisa tidur dalam keadaan mutqin, wudhunya tidak batal.
Ketiga adalah hilangnya kesadaran, maksudnya akalnya terkalahkan sebab mabuk, sakit, gila, epilepsi atau selainnya. Orang yang hilang akalnya walaupun sebentar maka wudhunya batal.
Menurut Imama Nawawi dalam al-Maj’mu’, hilang akal sebab mabuk, pingsan dan gila lebih berat dari pada tidur, karena kesadarannya jauh lebih hilang daripada orang yang sekedar tertidur sebab mereka tidak aka terbangun meski kita peringatkan. Karena itu mayoritas ulama bersepakat orang yang pingsan, mabuk dan gila batal wudhunya.
Keempat adalah persentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan lain yang bukan mahram yang telah mencapai batas syahwat dan tidak ada penghalang antara dua kulit tersebut seperti kain. Seandainya terdapat penghalang di antara keduanya maka wudhu tidak batal.
Menurut Al-Ghazi menjelaskan, yang dimaksud dengan mahram adalah wanita yang haram dinikah karena ikatan nasab, radaah (saudara sepersusuan) atau ikatan pernikahan.
Kelima, menyentuh kemaluan orang lain atau dirinya sendiri atau menyentuh tempat pelipis dubur dengan telapak tangan atau telapak jarinya. Ketetapan tersebut berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidziy dan An-Nasa’iy berikut:
عن بسرة بنت صفوان رضي الله عنه قال: من مس فرجه فلا يصلى حتى يتوضأ.
Dari Basrah binti Shafwan, Nabi Muhammad Saw, bersabda, “Barang siapa menyentuh kemaluannya maka jangan shalat sampai ia wudhu.”
Al-Ghazi dalam Fathul Qarib memberi catatan, jika menyentuh dengan bagian dalam tangan yaitu bagian luar dan pinggir tangan, ujung jemari dan bagian di antara jemari, maka hal ini tidak sampai membatalkan wudlu’ sebab menyentuh dengan bagian-bagian tersebut. Wallahu a’lam. (BS)
FOLLOW THE INFONEWS.CO.ID AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow INFONEWS.CO.ID on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram