JAKARTA - Pengadilan Negeri Balikpapan Kalimantan Timur menggelar sidang pembacaan tuntutan terhadap dua dari tujuh terdakwa kasus makar Papua, yakni Irwanus Uropmabin dan Buktar Tabuni, Selasa (2/6/2020). Jaksa menuntut Irwanus dan Buktar Tabuni hukuman penjara 5 tahun dan 17 tahun masing-masing. Tuntutan itu pun dianggap menyimpang dan tidak berdasarkan pada fakta persidangan.
Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menegaskan tuntutan jaksa harus ditinjau kembali.
"Karena ini justru negara menjustifikasi rasialisme dan Papua phobia. Ini sudah tidak adil. Injustice!" katanya, Jumat (5/6/2020)
Menurutnya keadilan itu tidak berlaku di dalam hukumnya penguasa, betapa pun para penguasa saat ini menebar senyum dan kata yang manis dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Saya mau tegaskan kepada Presiden Jokowi, jaksa dan hakim bahwa mereka adalah korban rasisme yang melakukan perlawanan terhadap antirasialisme," ujarnya.
Sementara itu advokat dari Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua Wehelmina Morin mengatakan tuntutan ini merupakan tuntutan paling tinggi yang pernah diajukan jaksa di antara para Tahanan Politik (Tapol) lainnya yang dikriminalisasi setelah memprotes tindakan rasisme terhadap orang Papua yang terjadi di Surabaya dan beberapa daerah lain pada Agustus 2019.
"Mirisnya, para pelaku rasisme hanya divonis selama 5 bulan penjara dan otomatis langsung bebas karena telah menjalani masa hukuman," katanya, Jumat (5/6/2020).
Berikut bunyi kutipan tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua terhadap Buchtar Tabuni yang dibacakan pada persidangan, Selasa 2 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Balikpapan:
". . . satu, menyatakan terdakwa Buchtar Tabuni terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana kami dakwakan terhadap terdakwa dalam dakwaan Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Buchtar Tabuni berupa pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, sementara dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan".
Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun penjara karena dianggap terlibat mengakomodir massa dalam aksi unjuk rasa mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura, Agustus 2019. Padahal Buchtar Tabuni tidak pernah hadir di lapangan saat aksi 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019.
Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Muttaqien menilai surat tuntutan yang disusun oleh jaksa tersebut tidak beralasan karena tidak didasarkan pada bukti dan fakta-fakta persidangan.
Terkait dengan keterangan Ahli misalnya, jaksa lebih banyak mengutip dari BAP ahli yang disusun oleh penyidik pada saat proses penyidikan, bukan dari fakta persidangan.
Jaksa juga sama sekali mengabaikan dan tidak mempertimbangkan saksi-saksi meringankan (a de charge) dan ahli-ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum terdakwa seperti Dr. Adriana Elizabeth, M.Sos (LIPI), Dr. Tristam P. Moeliono, S.H., LL.M (Ahli Hukum Universitas Parahyangan) dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ahli Hukum HAM Universitas Airlangga).
Padahal surat tuntutan, menurut Adami Chazawi, dalam bukunya berjudul Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum harus didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan.
Seharusnya juga mempertimbangkan situasi sosiokultural yang melatarbelakangi, yaitu insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua yang menjadi dasar utama terseretnya para terdakwa dalam perkara ini.
Selama ini dalam melakukan tugas penuntutan atas kasus-kasus yang ditanganinya, Kejaksaan terikat pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor:PER-036/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
Dalam rangka menyusun surat tuntutan pidana (requsitoir) misalnya, terutama dalam menetapkan jenis dan beratnya pidana harus dilakukan secara berjenjang, yaitu menyampaikan Rencana Tuntutan (rentut) terlebih dahulu kepada Kasi Pidum, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Jaksa Agung sesuai dengan tingkat keseriusan perkara dan tingkat pengendalian.
Andi meminta JPU juga lebih bijaksana dalam menyusun tuntutan hukum sesuai fakta dan menjunjung tinggi profesionalitas terhadap lima terdakwa lainnya yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, seperti Agus Kossay, Steven Itlay, Ferry Kombo, Alexander Gobay, dan Hengky Hilapok.
"Kami minta Jaksa Agung meninjau kembali tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum terhadap Buhtar Tabuni dan Irwanus Uropmabin, karena tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan," ujarnya.
Ia juga berharap hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo lebih bijak dalam mengadili dan memutus perkara dengan mempertimbangkan hal-hal yang terungkap di persidangan. Tujuh tersangka yang dituntut adalah Buchtar Tabuni 17 tahun, Agus Kossay 15 tahun, Stevanus Itlai 15 Tahun, Alexander Gobay 10 tahun, Ferry Kombo 10 Tahun, Irwanus Uropmabin 5 Tahun, dan Hengki Hilapok 5 tahun. (IN-001)
Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menegaskan tuntutan jaksa harus ditinjau kembali.
"Karena ini justru negara menjustifikasi rasialisme dan Papua phobia. Ini sudah tidak adil. Injustice!" katanya, Jumat (5/6/2020)
Menurutnya keadilan itu tidak berlaku di dalam hukumnya penguasa, betapa pun para penguasa saat ini menebar senyum dan kata yang manis dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Saya mau tegaskan kepada Presiden Jokowi, jaksa dan hakim bahwa mereka adalah korban rasisme yang melakukan perlawanan terhadap antirasialisme," ujarnya.
Sementara itu advokat dari Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua Wehelmina Morin mengatakan tuntutan ini merupakan tuntutan paling tinggi yang pernah diajukan jaksa di antara para Tahanan Politik (Tapol) lainnya yang dikriminalisasi setelah memprotes tindakan rasisme terhadap orang Papua yang terjadi di Surabaya dan beberapa daerah lain pada Agustus 2019.
"Mirisnya, para pelaku rasisme hanya divonis selama 5 bulan penjara dan otomatis langsung bebas karena telah menjalani masa hukuman," katanya, Jumat (5/6/2020).
Berikut bunyi kutipan tuntutan JPU Kejaksaan Tinggi Papua terhadap Buchtar Tabuni yang dibacakan pada persidangan, Selasa 2 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Balikpapan:
". . . satu, menyatakan terdakwa Buchtar Tabuni terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana kami dakwakan terhadap terdakwa dalam dakwaan Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Buchtar Tabuni berupa pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, sementara dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan".
Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun penjara karena dianggap terlibat mengakomodir massa dalam aksi unjuk rasa mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura, Agustus 2019. Padahal Buchtar Tabuni tidak pernah hadir di lapangan saat aksi 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019.
Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Muttaqien menilai surat tuntutan yang disusun oleh jaksa tersebut tidak beralasan karena tidak didasarkan pada bukti dan fakta-fakta persidangan.
Terkait dengan keterangan Ahli misalnya, jaksa lebih banyak mengutip dari BAP ahli yang disusun oleh penyidik pada saat proses penyidikan, bukan dari fakta persidangan.
Jaksa juga sama sekali mengabaikan dan tidak mempertimbangkan saksi-saksi meringankan (a de charge) dan ahli-ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum terdakwa seperti Dr. Adriana Elizabeth, M.Sos (LIPI), Dr. Tristam P. Moeliono, S.H., LL.M (Ahli Hukum Universitas Parahyangan) dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ahli Hukum HAM Universitas Airlangga).
Padahal surat tuntutan, menurut Adami Chazawi, dalam bukunya berjudul Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum harus didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan.
Seharusnya juga mempertimbangkan situasi sosiokultural yang melatarbelakangi, yaitu insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua yang menjadi dasar utama terseretnya para terdakwa dalam perkara ini.
Selama ini dalam melakukan tugas penuntutan atas kasus-kasus yang ditanganinya, Kejaksaan terikat pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor:PER-036/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
Dalam rangka menyusun surat tuntutan pidana (requsitoir) misalnya, terutama dalam menetapkan jenis dan beratnya pidana harus dilakukan secara berjenjang, yaitu menyampaikan Rencana Tuntutan (rentut) terlebih dahulu kepada Kasi Pidum, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Jaksa Agung sesuai dengan tingkat keseriusan perkara dan tingkat pengendalian.
Andi meminta JPU juga lebih bijaksana dalam menyusun tuntutan hukum sesuai fakta dan menjunjung tinggi profesionalitas terhadap lima terdakwa lainnya yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, seperti Agus Kossay, Steven Itlay, Ferry Kombo, Alexander Gobay, dan Hengky Hilapok.
"Kami minta Jaksa Agung meninjau kembali tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum terhadap Buhtar Tabuni dan Irwanus Uropmabin, karena tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan," ujarnya.
Ia juga berharap hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo lebih bijak dalam mengadili dan memutus perkara dengan mempertimbangkan hal-hal yang terungkap di persidangan. Tujuh tersangka yang dituntut adalah Buchtar Tabuni 17 tahun, Agus Kossay 15 tahun, Stevanus Itlai 15 Tahun, Alexander Gobay 10 tahun, Ferry Kombo 10 Tahun, Irwanus Uropmabin 5 Tahun, dan Hengki Hilapok 5 tahun. (IN-001)
FOLLOW THE INFONEWS.CO.ID AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow INFONEWS.CO.ID on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram